Cianjur,Jurnal News Site.
Sudah belasan tahun pemerintah Indonesia menjalankan berbagai program bantuan tunai dan pangan untuk rakyat miskin. Diantaranya adalah Program Keluarga Harapan (PKH) dan program Beras Sejahtera (Rastra) atau Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT).
PKH adalah program bantuan tunai kepada Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM), sementara Rastra atau BPNT adalah bantuan pangan kepada Keluarga Penerima Manfaat (KPM).
Untuk menyalurkan program PKH dan Rastra, pemerintah melakukan penggolongan keluarga miskin dengan mengacu pada survei BPS dan Kemensos. Pertama-tama, data survei tersebut menggolongkan 40% keluarga dengan pendapatan terendah sebagai “rumah tangga miskin.” Dari 40% rumah tangga miskin itu, 25% terendahnya ditetapkan sebagai keluarga “sangat miskin dan miskin” yang berhak mendapatkan Rastra.
Dan 10% terendahnya ditetapkan sebagai keluarga “sangat miskin” yang berhak mendapatkan PKH. Adapun 15% sisanya dari 40% rumah tangga miskin ditetapkan sebagai lapisan “hampir miskin” dan dianggap tidak pantas menerima PKH dan Rastra.
Dalam program PKH dan Rastra/ BPNT ini, terdapat berbagai masalah pendataan. Masalahmasalah pendataan itu adalah sebagai berikut: Untuk mengidentifikasi penerima bantuan sosial (termasuk Rastra dan PKH) berdasarkan kriteriakriteria yang sudah ditetapkan, pemerintah membuat sistem pendataan yang disebut Basis Data Terpadu (BDT).
BDT tahun 2017 bersumber dari hasil sensus penduduk 2015 oleh BPS. Artinya, penyaluran Rastra dan PKH seharusnya didasarkan pada BDT tahun 2017 tersebut. Namun, basis data yang digunakan untuk penyaluran Rastra dan PKH pada 2017 tidak konsisten.
Data penerima Rastra dan PKH tersebut tidak sepenuhnya bersumber pada BDT tahun 2017. Banyak penerima Rastra dan PKH yang bersumber dari data hasil Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) tahun 2011. Akibatnya, pada penyaluran tahun 2017, ada banyak penerima bantuan yang tidak bisa mencairkan kartunya karena datanya bersumber dari PPLS 2011. Dalam BDT tahun 2017, terdapat banyak data yang tidak akurat, seperti tidak sesuai kriteria, tidak ditemukan keberadaannya, dan sudah meninggal.
Ada yang sudah mampu tapi menerima PKH, ada juga yang malah tergolong rumah tangga sangat miskin tapi tidak menerima PKH. Berdasarkan pantauan SPRI, terdapat 10 dari setiap 100 penerima sasaran yang tidak sesuai kriteria, tidak ditemukan dan telah meninggal dunia. Secara nasional kami menduga ada 1 Juta data seperti ini. Untuk memperbaiki BDT agar akurat dan tepat sasaran, sejak 2015 pemerintah membuat mekanisme pemutakhiran data yang bernama Mekanisme Pemutakhiran Mandiri. Melalui MPM, warga yang belum terdaftar bisa mendaftarkan diri di daerahnya. Masal
pelaksanaan MPM tidak diketahui oleh rakyat. MPM 2018 berjalan tanpa pengawasan oleh rakyat. Hal ini tentu berdampak pada hasil MPM yang tidak akurat. Sistem ‘ranking’ dan penetapan data sasaran penerima bantuan sosial, termasuk Rastra serta PKH, tidak membuka ruang yang melibatkan rakyat. Penetapan itu dilakukan secara sepihak oleh Kemensos dan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K). Akibatnya, masih ada 13 juta keluarga miskin yang tidak tercatat sebagai penerima Rastra dan PKH.
Hal ini menimbulkan rasa ketidakadilan di kalangan rakyat. Selain masalah pendataan di atas, masalah penting lainnya terkait program bantuan sosial adalah bahwa program ini cenderung menjadi alat elit politik untuk meraih dukungan. Politisasi program bansos untuk kepentingan sempit elit merupakan sebuah kejahatan. Misalnya, penerima Rastra dan PKH di Jawa Timur lebih banyak daripada di Jawa Barat, padahal jumlah penduduk Jawa Barat lebih banyak daripada Jawa Timur.
Diduga hal seperti ini terjadi karena adanya kepentingan politik salah satu kandidat. Seperti diberitakan oleh media masa bahwa pada tahun 2017 di Jawa Barat tercatat sebanyak 1.025.988 Keluarga Penerima PKH, tahun 2018 bertambah 419.741 Keluarga, totalnya menjadi 1.445.729 Keluarga[1]. Di Jawa Timur tahun 2017 tercatat sebanyak 1.077.294 Keluarga Penerima PKH, tahun 2018 bertambah 435.334, totalnya menjadi 1.512.628 Keluarga[2]. Hal ini menunjukan bahwa penambahan data lebih banyak di Jawa Timur. Kemudian, masalah penting lainnya adalah banyaknya tindak penyelewengan dalam penyaluran Rastra dan PKH.
Misalnya, masalah pungutan liar (pungli) oleh e-warung atau pendamping PKH. Ada juga masalah ratusan kartu yang disita oleh pendamping PKH. Lalu, ada juga duit PKH yang dibawa lari pendamping PKH atau diambil perangkat desa. Warga miskin biasanya tidak berani melaporkan masalah ini karena oleh pendamping atau penyelenggara program diancam tidak akan mendapatkan bantuan sosial. Mereka yang melaporkan pun juga mendapat ancaman dari penyelenggara.
Oleh karena itu, Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI) menuntut: 1. Segera Rombak dan Perbaiki Basis Data Terpadu (BDT); 2. Ubah Kriteria Miskin dan Garis Kemiskinan; 3. Perbesar APBN untuk Bansos PKH-Rastra; 4. Libatkan Rakyat Miskin dalam setiap penetapan kebijakan penanganan kemiskinan; 5. Rakyat Miskin perlu perlindungan sosial partisipatif yang dapat mensejahterakan;
Liputan Asep Ridwan