CIANJUR.jurnalnewssite.com.
Pelarangan pengambilan gambar, foto, video atau audio di Badan Pertanahan Nasional (BPN) kantor pertanahan Kabupaten Cianjur tuai reaksi. Terlebih dasar hukum larangan yaitu ndang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) pasal 27 tersebut dinilai tidak sesuai peruntukkannya.
Ketua Forum Perjuangan Buruh Tani Cianjur (FPBTC), Hendra Malik mempertanyakan tujuan utama pelarangan itu. Peran serta masyarakat jelas diatur pada pasal 39 UU nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
“Masyarakat dapat melakukan pengawasan terkait pelayanan publik yang diberikan, bahkan masyarakat juga dapat melaporkan kepada penyelenggara pelayanan publik, ombudsman atau legislatif jika ditemukan penyimpangan di lapangan, dengan disertai bukti tentunya,” ungkapnya.
Bukti itu, lanjut Hendra dapat berupa gambar, foto, video atau audio penyimpangan yang dilakukan oleh pelaksana pelayanan publik. Jika ada larangan seperti itu, semakin menjadi pertanyaan tentang kualitas pelayanannya.
“Kalau harus ijin dulu saat mau mengambil bukti penyimpangan di loket pelayanan publik, ya... tidak mungkin dapat bukti. Sebenarnya kalau bersih dan sesuai aturan kenapa harus takut,” ucapnya.
Hendra menyarankan untuk memahami lebih dalam terkait dasar hukum pelarangan itu. Hasil gambar, foto, video atau audio yang diambil di loket pelayanan publik tidak mungkin bermuatan kesusilaan, perjudian, pencemaran nama baik, ancaman ataupun bermuatan pemerasan.
“Tidak mungkin kan di pelayanan publik ditemukan hal itu. Kalaupun nantinya ditemukan, tinggal diproses saja secara hukum,” katanya.
Sementara, Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Persatuan Wartawan Republik Indonesia (PWRI), Asep Ridwan juga menyayangkan pelarangan tersebut. Transparansi pelayanan publik saat ini menjadi pembicaraan hangat di seluruh lapisan masayarakat. Bahkan saat ini telah dibentuk Satuan Tugas (Satgas) Sapu Bersih Pungutan Liar (Saber Pungli) guna meminimalisir pungli di pelayanan publik.
“Presiden Joko Widodo sangat serius mengupayakan pemberantasan pungli dengan membentuk Satgas Saber Pungli. Masyarakat pun dihimbau untuk turut serta dalam pelaksanaannya di lapangan,” tuturnya.
Tetapi larangan pengambilan gambar, foto, video atau audio di loket pelayanan publik, sambung Asep jelas menghalangi peran serta masyarakat dalam pemberantasan pungli di pelayanan publik, karena masyarakat akan kesulitan mendapatkan bukti. Selain itu, larangan itu juga bertolak belakang dengan tugas insan media sebagai kontrol sosial.
“Sebaiknya larangan itu dicabut saja untuk menghindari konflik dengan masyarakat atau media,” himbaunya.
Dilain pihak, Ketua Kesatuan Aksi Mahasiswa Cianjur yang juga memiliki gelar sarjana hukum, Ujang Ruslandi menilai dasar hukum pelarangan itu kurang tepat peruntukannya. Pasal 27 UU ITE diperuntukkan untuk menjerat pelaku yang menyebarkanluaskan atau mendistribusikan tanpa hak empat hal yang dilarang.
“Empat ayat yang tercantum di dalam pasal 27 UU ITE itu, yakni melarang menyebarluaskan muatan yang melanggar kesusilaan, bermuatan perjudian, bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, dan terakhir melarang menyebarluaskan yang bermuatan pemerasan dan/atau pengancaman,” terangnya.
Menurut Ujang, pasal itu tidak menyebutkan pelarangan mengambil gambar, foto, video atau audio, sehingga perlu dipikir ulang. Jika dipaksakan pasti akan memunculkan berbagai reaksi.
“Kalau memang mau tetap dipergunakan bukan sebagai dasar pelarangan, tetapi lebih ditekankan sebagai pengingat kepada masyarakat agar lebih bijak dalam menyebarluaskan informasi secara elektronik, karena seluruh tindakan yang melawan hukum memiliki konsekuensi secara hukum pula,” sebutnya.(redaksi)