Jakarta,- Jurnal News Site.
Tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) naik dari 11% menjadi 12% mulai 1 Januari 2025 tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Kenaikan PPN ini akan membuat beban hidup masyarakat semakin berat.
Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang akan berimbas pada kenaikan harga barang sangat mempengaruhi daya beli masyarakat. Sejak Mei 2024, daya beli masyarakat terus merosot, dan jika PPN terus dipaksakan naik, diperkirakan daya beli akan mengalami penurunan yang lebih drastis, dan akan menambah kesengsaraan rakyat.
Hal ini disampaikan Akademisi dan Praktisi Hukum Dr. Suriyanto Pd, SH,MH,M.Kn, melalui keterangannya di Jakarta. Selasa 24 Desember 2024
“ Kenaikan PPN disebut bisa memperburuk tingkat kemiskinan dan memperlebar kesenjangan sosial, mendorong lebih banyak orang ke bawah garis kemiskinan dan semakin membebani kelompok rentan. Pemerintah seharusnya bisa melihat secara bijak persoalan ekonomi yang dihadapi rakyat,” kata Suriyanto
“ Salah satu faktor pemicu utama anjloknya kelas menengah adalah kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10 persen menjadi 11 persen pada 1 April 2022, di tengah gejolak harga komoditas global yang melonjak tinggi, yang memicu suku bunga global naik tajam,” ujarnya.
Suriyanto menegaskan, kebijakan Menteri Keuangan sangat menyengsarakan masyarakat, yang saat ini ekonomi sedang terpuruk, daya beli menurun. Masyarakat pasti akan terkena dampai dari kebijakan Sri Mulyani ini.
“ Jangan seperti rentenir begini, rakyat dihisap darahnya,” kata Suriyanto sambungnya.
Suriyanto menilai dengan daya beli masyarakat yang sudah melemah akibat inflasi dalam beberapa tahun terakhir, kenaikan PPN ini berpotensi memperburuk situasi ekonomi rumah tangga.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), daya beli kelas menengah telah menurun sekitar 5% pada 2024 akibat tekanan inflasi.
Selain itu, kata Suriyanto, kenaikan PPN ini menjadi ancaman tambahan bagi UMKM yang telah mengalami penurunan penjualan akibat lemahnya daya beli masyarakat.
“Lima tahun lalu, kelas menengah Indonesia berjumlah 57 juta, sekarang tinggal 47 juta. Ini indikasi turunnya daya beli," jelas Suriyanto
Suriyanto mengatakan, kondisi ekonomi yang lambat menambah tantangan bagi UMKM untuk tetap bertahan.
"Toko-toko tutup, omzet menurun, dan banyak pelaku UMKM yang akhirnya gulung tikar," tambahnya.
Suriyanto juga menyoroti pentingnya peran masyarakat untuk terus menyuarakan penolakan terhadap kebijakan kenaikan PPN 12 persen agar pemerintah mempertimbangkan ulang kebijakannya.
“ Presiden Prabowo harus meninjau ulang rencana kenaikan PPN 12 persen ini. Dan tak kalah penting Menteri Keuangan Sri Mulyani harus dicopot, karena kebijakannya sudah menyengsarakan rakyat,” pungkas Suriyanto
[jgd/red]